Rinduku padaMu Bapa saat ini, berkati aku Bapa hari ini…
Berkati pekerjaanku Bapa hadirlah disini,
Sungguh karyaMu indah Bapa hari ini..
Aku merasa berat Bapa, bebanku..
Namun aku percaya, Bapa selalu senantiasa
Hadir dalam hatiku, karyaku..
Bapalah yang membuat hariku indah
Saat ini..
Kuserahkan yang ada padaKu Bapa dalam karyamu,
Kutahu karyaMu begitu besar dalam hidupku..
meja kantor,
10 Mei 2010
Senin, 10 Mei 2010
Kamis, 06 Mei 2010
mencintaimu..
Dua orang yang baik, tapi, mengapa perkawinan tidak berakhir
bahagia
Ibu saya adalah seorang yang sangat baik, sejak kecil, saya
melihatnya dengan begitu gigih menjaga keutuhan keluarga. Ia
selalu bangun dini hari, memasak bubur yang panas untuk ayah,
karena lambung ayah tidak baik, pagi hari hanya bisa makan bubur.
Setelah itu, masih harus memasak sepanci nasi untuk anak-anak,
karena anak-anak sedang dalam masa pertumbuhan, perlu makan nasi,
dengan begitu baru tidak akan lapar seharian di sekolah.
Setiap sore, ibu selalu membungkukkan nbadan menyikat panci,
setiap panci di rumah kami bisa dijadikan cermin, tidak ada noda
sedikikt pun.
Menjelang malam, dengan giat ibu membersihkan lantai, mengepel
seinci demi seinci, lantai di rumah tampak lebih bersih dibanding
sisi tempat tidur orang lain, tiada debu sedikit pun meski
berjalan dengan kaki telanjang.
Ibu saya adalah seorang wanita yang sangat rajin.
Namun, di mata ayahku, ia (ibu) bukan pasangan yang baik.
Dalam proses pertumbuhan saya, tidak hanya sekali saja ayah
selalu menyatakan kesepiannya dalam perkawinan, tidak
memahaminya.
Ayah saya adalah seorang laki-laki yang bertanggung jawab.
Ia tidak merokok, tidak minum-minuman keras, serius dalam
pekerjaan, setiap hari berangkat kerja tepat waktu, bahkan saat
libur juga masih mengatur jadwal sekolah anak-anak, mengatur
waktu istrirahat anak-anak, ia adalah seorang ayah yang penuh
tanggung jawab, mendorong anak-anak untuk berpretasi dalam
pelajaran.
Ia suka main catur, suka larut dalam dunia buku-buku kuno.
Ayah saya adalah seoang laki-laki yang baik, di mata anak-anak,
ia maha besar seperti langit, menjaga kami, melindungi kami dan
mendidik kami.
Hanya saja, di mata ibuku, ia juga bukan seorang pasangan yang
baik, dalam proses pertumbuhan saya, kerap kali saya melihat ibu
menangis terisak secara diam diam di sudut halaman.
Ayah menyatakannya dengan kata-kata, sedang ibu dengan aksi,
menyatakan kepedihan yang dijalani dalam perkawinan.
Dalam proses pertumbuhan, aku melihat juga mendengar
ketidakberdayaan dalam perkawinan ayah dan ibu, sekaligus
merasakan betapa baiknya mereka, dan mereka layak mendapatkan
sebuah perkawinan yang baik.
Sayangnya, dalam masa-masa keberadaan ayah di dunia, kehidupan
perkawinan mereka lalui dalam kegagalan, sedangkan aku, juga
tumbuh dalam kebingungan, dan aku bertanya pada diriku sendiri :
Dua orang yang baik mengapa tidak diiringi dengan perkawinan yang
bahagia?
Pengorbanan yang dianggap benar.
Setelah dewasa, saya akhirnya memasuki usia perkawinan, dan
secara perlahan ?lahan saya pun mengetahui akan jawaban ini.
Di masa awal perkawinan, saya juga sama seperti ibu, berusaha
menjaga keutuhan keluarga, menyikat panci dan membersihkan
lantai, dengan sungguh-sungguh berusaha memelihara perkawinan
sendiri.
Anehnya, saya tidak merasa bahagia ; dan suamiku sendiri,
sepertinya juga tidak bahagia.
Saya merenung, mungkin lantai kurang bersih, masakan tidak enak,
lalu, dengan giat saya membersihkan lantai lagi, dan memasak
dengan sepenuh hati.
Namun, rasanya, kami berdua tetap saja tidak bahagia. .
Hingga suatu hari, ketika saya sedang sibuk membersihkan lantai,
suami saya berkata : istriku, temani aku sejenak mendengar alunan
musik!
Dengan mimik tidak senang saya berkata : apa tidak melihat masih
ada separoh lantai lagi yang belum di pel ?
Begitu kata-kata ini terlontar, saya pun termenung, kata-kata
yang sangat tidak asing di telinga, dalam perkawinan ayah dan ibu
saya, ibu juga kerap berkata begitu sama ayah.
Saya sedang mempertunjukkan kembali perkawinan ayah dan ibu,
sekaligus mengulang kembali ketidakbahagiaan dalam perkwinan
mereka.
Ada beberapa kesadaran muncul dalam hati saya.
Yang kamu inginkan ?
Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu memandang suamiku, dan
teringat akan ayah saya?
Ia selalu tidak mendapatkan pasangan yang dia inginkan dalam
perkawinannya,
Waktu ibu menyikat panci lebih lama daripada menemaninya.
Terus menerus mengerjakan urusan rumah tangga, adalah cara ibu
dalam mempertahankan perkawinan, ia memberi ayah sebuah rumah
yang bersih, namun, jarang menemaninya, sibuk mengurus rumah, ia
berusaha mencintai ayah dengan caranya, dan cara ini adalah
mengerjakan urusan rumah tangga.
Dan aku, aku juga menggunakan caraku berusaha mencintai suamiku.
cara saya juga sama seperti ibu, perkawinan saya sepertinya
tengah melangkah ke dalam sebuah cerita, dua orang yang baik
mengapa tidak diiringi dengan perkawinan yang bahagia.
Kesadaran saya membuat saya membuat keputusan (pilihan) yang
sama.
Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu duduk di sisi suami,
menemaninya mendengar musik, dan dari kejauhan, saat memandangi
kain pel di atas lantai seperti menatapi nasib ibu.
Saya bertanya pada suamiku : apa yang kau butuhkan ?
Aku membutuhkanmu untuk menemaniku mendengar musik, rumah kotor
sedikit tidak apa-apa-lah, nanti saya carikan pembantu untukmu,
dengan begitu kau bisa menemaniku! ujar suamiku.
Saya kira kamu perlu rumah yang bersih, ada yang memasak untukmu,
ada yang mencuci pakianmu?.dan saya mengatakan sekaligus
serentetan hal-hal yang dibutuhkannya.
Semua itu tidak penting-lah!ujar suamiku. Yang paling kuharapkan
adalah kau bisa lebih sering menemaniku.
Ternyata sia-sia semua pekerjaan yang saya lakukan, hasilnya
benar-benar membuat saya terkejut.
Kami meneruskan menikamti kebutuhan masing-masing, dan baru saya
sadari ternyata dia juga telah banyak melakukan pekerjaan yang
sia-sia, kami memiliki cara masing-masing bagaimana mencintai,
namun, bukannya cara pihak kedua.
Jalan kebahagiaan
Sejak itu, saya menderetkan sebuah daftar kebutuhan suami, dan
meletakkanya di atas meja buku,
Begitu juga dengan suamiku, dia juga menderetkan sebuah daftar
kebutuhanku.
Puluhan kebutuhan yang panjang lebar dan jelas, seperti misalnya,
waktu senggang menemani pihak kedua mendengar musik, saling
memeluk kalau sempat, setiap pagi memberi sentuhan selamat jalan
bila berangkat.
Beberapa hal cukup mudah dilaksanakan, tapi ada juga yang cukup
sulit, misalnya dengarkan aku, jangan memberi komentar.
Ini adalah kebutuhan suami. Kalau saya memberinya usul, dia
bilang akan merasa dirinya akan tampak seperti orang bodoh.
Menurutku, ini benar-benar masalah gengsi laki-laki.
Saya juga meniru suami tidak memberikan usul, kecuali dia
bertanya pada saya, kalau tidak saya hanya boleh mendengar dengan
serius, menurut sampai tuntas, demikian juga ketika salah jalan.
Bagi saya ini benar-benar sebuah jalan yang sulit dipelajari,
namun, jauh lebih santai daripada mengepel, dan dalam kepuasan
kebutuhan kami ini, perkawinan yang kami jalani juga kian hari
semakin penuh daya hidup.
Saat saya lelah, saya memilih beberapa hal yang gampang
dikerjakan, misalnya menyetel musik ringan, dan kalau lagi segar
bugar merancang perjalanan keluar kota.
Menariknya, pergi ke taman flora adalah hal bersama dan kebutuhan
kami, setiap ada pertikaian, selalu pergi ke taman flora, dan
selalu bisa menghibur gejolak hati masing-masing.
Sebenarnya, kami saling mengenal dan mencintai juga dikarenakan
kesukaan kami pada taman flora, lalu bersama kita menapak ke
tirai merah perkawinan, kembali ke taman bisa kembali ke dalam
suasana hati yang saling mencintai bertahun-tahun silam.
Bertanya pada pihak kedua : apa yang kau inginkan, kata-kata ini
telah menghidupkan sebuah jalan kebahagiaan lain dalam
perkawinan. Keduanya akhirnya melangkah ke jalan bahagia.
Kini, saya tahu kenapa perkawinan ayah ibu tidak bisa bahagia,
mereka terlalu bersikeras menggunakan cara sendiri dalam
mencintai pihak kedua, bukan mencintai pasangannya dengan cara
pihak kedua.
Diri sendiri lelahnya setengah mati, namun, pihak kedua tidak
dapat merasakannya, akhirnya ketika menghadapi penantian
perkawinan, hati ini juga sudah kecewa dan hancur.
Karena Tuhan telah menciptakan perkawinan, maka menurut saya,
setiap orang pantas dan layak memiliki sebuah perkawinan yang
bahagia, asalkan cara yang kita pakai itu tepat, menjadi orang
yang dibutuhkan pihak kedua! Bukannya memberi atas keinginan kita
sendiri, perkawinan yang baik, pasti dapat diharapkan.
Note. Kutipan dari seorang teman..
bahagia
Ibu saya adalah seorang yang sangat baik, sejak kecil, saya
melihatnya dengan begitu gigih menjaga keutuhan keluarga. Ia
selalu bangun dini hari, memasak bubur yang panas untuk ayah,
karena lambung ayah tidak baik, pagi hari hanya bisa makan bubur.
Setelah itu, masih harus memasak sepanci nasi untuk anak-anak,
karena anak-anak sedang dalam masa pertumbuhan, perlu makan nasi,
dengan begitu baru tidak akan lapar seharian di sekolah.
Setiap sore, ibu selalu membungkukkan nbadan menyikat panci,
setiap panci di rumah kami bisa dijadikan cermin, tidak ada noda
sedikikt pun.
Menjelang malam, dengan giat ibu membersihkan lantai, mengepel
seinci demi seinci, lantai di rumah tampak lebih bersih dibanding
sisi tempat tidur orang lain, tiada debu sedikit pun meski
berjalan dengan kaki telanjang.
Ibu saya adalah seorang wanita yang sangat rajin.
Namun, di mata ayahku, ia (ibu) bukan pasangan yang baik.
Dalam proses pertumbuhan saya, tidak hanya sekali saja ayah
selalu menyatakan kesepiannya dalam perkawinan, tidak
memahaminya.
Ayah saya adalah seorang laki-laki yang bertanggung jawab.
Ia tidak merokok, tidak minum-minuman keras, serius dalam
pekerjaan, setiap hari berangkat kerja tepat waktu, bahkan saat
libur juga masih mengatur jadwal sekolah anak-anak, mengatur
waktu istrirahat anak-anak, ia adalah seorang ayah yang penuh
tanggung jawab, mendorong anak-anak untuk berpretasi dalam
pelajaran.
Ia suka main catur, suka larut dalam dunia buku-buku kuno.
Ayah saya adalah seoang laki-laki yang baik, di mata anak-anak,
ia maha besar seperti langit, menjaga kami, melindungi kami dan
mendidik kami.
Hanya saja, di mata ibuku, ia juga bukan seorang pasangan yang
baik, dalam proses pertumbuhan saya, kerap kali saya melihat ibu
menangis terisak secara diam diam di sudut halaman.
Ayah menyatakannya dengan kata-kata, sedang ibu dengan aksi,
menyatakan kepedihan yang dijalani dalam perkawinan.
Dalam proses pertumbuhan, aku melihat juga mendengar
ketidakberdayaan dalam perkawinan ayah dan ibu, sekaligus
merasakan betapa baiknya mereka, dan mereka layak mendapatkan
sebuah perkawinan yang baik.
Sayangnya, dalam masa-masa keberadaan ayah di dunia, kehidupan
perkawinan mereka lalui dalam kegagalan, sedangkan aku, juga
tumbuh dalam kebingungan, dan aku bertanya pada diriku sendiri :
Dua orang yang baik mengapa tidak diiringi dengan perkawinan yang
bahagia?
Pengorbanan yang dianggap benar.
Setelah dewasa, saya akhirnya memasuki usia perkawinan, dan
secara perlahan ?lahan saya pun mengetahui akan jawaban ini.
Di masa awal perkawinan, saya juga sama seperti ibu, berusaha
menjaga keutuhan keluarga, menyikat panci dan membersihkan
lantai, dengan sungguh-sungguh berusaha memelihara perkawinan
sendiri.
Anehnya, saya tidak merasa bahagia ; dan suamiku sendiri,
sepertinya juga tidak bahagia.
Saya merenung, mungkin lantai kurang bersih, masakan tidak enak,
lalu, dengan giat saya membersihkan lantai lagi, dan memasak
dengan sepenuh hati.
Namun, rasanya, kami berdua tetap saja tidak bahagia. .
Hingga suatu hari, ketika saya sedang sibuk membersihkan lantai,
suami saya berkata : istriku, temani aku sejenak mendengar alunan
musik!
Dengan mimik tidak senang saya berkata : apa tidak melihat masih
ada separoh lantai lagi yang belum di pel ?
Begitu kata-kata ini terlontar, saya pun termenung, kata-kata
yang sangat tidak asing di telinga, dalam perkawinan ayah dan ibu
saya, ibu juga kerap berkata begitu sama ayah.
Saya sedang mempertunjukkan kembali perkawinan ayah dan ibu,
sekaligus mengulang kembali ketidakbahagiaan dalam perkwinan
mereka.
Ada beberapa kesadaran muncul dalam hati saya.
Yang kamu inginkan ?
Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu memandang suamiku, dan
teringat akan ayah saya?
Ia selalu tidak mendapatkan pasangan yang dia inginkan dalam
perkawinannya,
Waktu ibu menyikat panci lebih lama daripada menemaninya.
Terus menerus mengerjakan urusan rumah tangga, adalah cara ibu
dalam mempertahankan perkawinan, ia memberi ayah sebuah rumah
yang bersih, namun, jarang menemaninya, sibuk mengurus rumah, ia
berusaha mencintai ayah dengan caranya, dan cara ini adalah
mengerjakan urusan rumah tangga.
Dan aku, aku juga menggunakan caraku berusaha mencintai suamiku.
cara saya juga sama seperti ibu, perkawinan saya sepertinya
tengah melangkah ke dalam sebuah cerita, dua orang yang baik
mengapa tidak diiringi dengan perkawinan yang bahagia.
Kesadaran saya membuat saya membuat keputusan (pilihan) yang
sama.
Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu duduk di sisi suami,
menemaninya mendengar musik, dan dari kejauhan, saat memandangi
kain pel di atas lantai seperti menatapi nasib ibu.
Saya bertanya pada suamiku : apa yang kau butuhkan ?
Aku membutuhkanmu untuk menemaniku mendengar musik, rumah kotor
sedikit tidak apa-apa-lah, nanti saya carikan pembantu untukmu,
dengan begitu kau bisa menemaniku! ujar suamiku.
Saya kira kamu perlu rumah yang bersih, ada yang memasak untukmu,
ada yang mencuci pakianmu?.dan saya mengatakan sekaligus
serentetan hal-hal yang dibutuhkannya.
Semua itu tidak penting-lah!ujar suamiku. Yang paling kuharapkan
adalah kau bisa lebih sering menemaniku.
Ternyata sia-sia semua pekerjaan yang saya lakukan, hasilnya
benar-benar membuat saya terkejut.
Kami meneruskan menikamti kebutuhan masing-masing, dan baru saya
sadari ternyata dia juga telah banyak melakukan pekerjaan yang
sia-sia, kami memiliki cara masing-masing bagaimana mencintai,
namun, bukannya cara pihak kedua.
Jalan kebahagiaan
Sejak itu, saya menderetkan sebuah daftar kebutuhan suami, dan
meletakkanya di atas meja buku,
Begitu juga dengan suamiku, dia juga menderetkan sebuah daftar
kebutuhanku.
Puluhan kebutuhan yang panjang lebar dan jelas, seperti misalnya,
waktu senggang menemani pihak kedua mendengar musik, saling
memeluk kalau sempat, setiap pagi memberi sentuhan selamat jalan
bila berangkat.
Beberapa hal cukup mudah dilaksanakan, tapi ada juga yang cukup
sulit, misalnya dengarkan aku, jangan memberi komentar.
Ini adalah kebutuhan suami. Kalau saya memberinya usul, dia
bilang akan merasa dirinya akan tampak seperti orang bodoh.
Menurutku, ini benar-benar masalah gengsi laki-laki.
Saya juga meniru suami tidak memberikan usul, kecuali dia
bertanya pada saya, kalau tidak saya hanya boleh mendengar dengan
serius, menurut sampai tuntas, demikian juga ketika salah jalan.
Bagi saya ini benar-benar sebuah jalan yang sulit dipelajari,
namun, jauh lebih santai daripada mengepel, dan dalam kepuasan
kebutuhan kami ini, perkawinan yang kami jalani juga kian hari
semakin penuh daya hidup.
Saat saya lelah, saya memilih beberapa hal yang gampang
dikerjakan, misalnya menyetel musik ringan, dan kalau lagi segar
bugar merancang perjalanan keluar kota.
Menariknya, pergi ke taman flora adalah hal bersama dan kebutuhan
kami, setiap ada pertikaian, selalu pergi ke taman flora, dan
selalu bisa menghibur gejolak hati masing-masing.
Sebenarnya, kami saling mengenal dan mencintai juga dikarenakan
kesukaan kami pada taman flora, lalu bersama kita menapak ke
tirai merah perkawinan, kembali ke taman bisa kembali ke dalam
suasana hati yang saling mencintai bertahun-tahun silam.
Bertanya pada pihak kedua : apa yang kau inginkan, kata-kata ini
telah menghidupkan sebuah jalan kebahagiaan lain dalam
perkawinan. Keduanya akhirnya melangkah ke jalan bahagia.
Kini, saya tahu kenapa perkawinan ayah ibu tidak bisa bahagia,
mereka terlalu bersikeras menggunakan cara sendiri dalam
mencintai pihak kedua, bukan mencintai pasangannya dengan cara
pihak kedua.
Diri sendiri lelahnya setengah mati, namun, pihak kedua tidak
dapat merasakannya, akhirnya ketika menghadapi penantian
perkawinan, hati ini juga sudah kecewa dan hancur.
Karena Tuhan telah menciptakan perkawinan, maka menurut saya,
setiap orang pantas dan layak memiliki sebuah perkawinan yang
bahagia, asalkan cara yang kita pakai itu tepat, menjadi orang
yang dibutuhkan pihak kedua! Bukannya memberi atas keinginan kita
sendiri, perkawinan yang baik, pasti dapat diharapkan.
Note. Kutipan dari seorang teman..
Langganan:
Postingan (Atom)